Jumat, 03 September 2010

Hasil Rapat FK-GB

Hari ini Kamis, 2 September 2010 segenap anggota Forum Komunikasi Guru Bersertifikasi (FK-GB) telah mengadakan rapat anggota. Rapat ini sempat dihadiri Kepala UPT Dindikpora Kecamatan Banjarnegara (Dra H. Sri Widiastuti, M.Pd) dan beberapa Pengawas. Sesuai dengan agenda rapat yaitu Pembinaan Dinas dan Pemberdayaan Guru Pasca Sertifikasi, Ka UPT Dinas mengingatkan kembali guru mengikuti sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standar kompetensi guru.  Tunjangan profesi adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka guru tidak akan mencari jalan lain guna memperoleh sertifikat profesi kecuali mempersiapkan diri dengan belajar yang benar untuk menghadapi sertifikasi. Berdasarkan hal tersebut, maka sertifikasi akan membawa dampak positif, yaitu meningkatnya kualitas guru. Selain itu.mengajak para guru yang sudah tersertifikasi hendaknya untuk lebih meningkatkan kinerja dan etos kerjanya. Jangan sampai terjadi guru yang sudah berlabel Guru Profesi etos kerjanya menurun, apalagi pemerintah sudah memberikan penghasilan yang lebih dibanding dengan guru yang belum lulus sertifikasi. Lebih lanjut ditegaskan pula agar para guru dapat melaksanakan 4 kompetensi guru, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional seperti yang diamanatkan dalam UUGD. Selain itu Pengawas juga menghimbau agar gaji tambahan sertifikasi hendaknya tidak seluruhnya digunakan untuk kepentingan keluarga sehari-hari, tetapi sisihkan untuk kepentingan profesinya misalnya untuk membeli laptop bagi yang belum punya, beli buku, langganan internet, sehingga tujuan pemerintah untuk meningkatkan kompetensi guru bisa terwujud.
Setelah pembinaan, para anggota melanjutkan agenda rapatnya dan menghasilkan beberapa kesepakatan. 
mengadakan pelatihan IT dan PTK. Direncanakan pelatihan IT akan didahulukan dengan jadwal setiap hari Jumat pukul 14.00 bertempat di Laborat Komputer SD Negeri 1 Krandegan Banjarnegara.
Setiap anggota akan memberikan iuran dana bulanan untuk kepentingan organisasi.

Rabu, 01 September 2010

Menjadi Guru Ideal

Dalam perjalanan bangsa, pendidikan merupakan modal dasar pembangunan yang akan menentukan arah perkembangan dan kemajuan suatu bangsa dan negara. Pemerintah berupaya meningkatkan kualitas guru, dengan berbagai cara salah satunya adalah sertifikasi guru. Melalui sertifikasi ini diharapkan para guru dapat bertindak secara profesional? Sebenarnya apakah seorang guru itu harus profesional?. Dari kata profesional ini, seolah-olah guru yang bersertifikasi adalah guru yang benarr-benar mumpuni dan dapat ditiru oleh anak didiknya segala tindakannya, sesuai dengan istilah jawa, guru adalah digugu lan ditiru (segala perkataannya selalu diperhatikan anak dan tingkahlakunya akan ditiru anak).
Ketika seorang guru berkata pada anak didiknya, “Anak-anak kalau datang itu jangan terlambat, kalau ingin sukses kalian harus disiplin, tepat waktu!” “ya pak guru” jawab muridnya serentak. Guru juga memberi petuah lagi “Anak-anak, kalau ada sampah berserakkan maka kita harus meletakkan pada tempatnya, yaitu dimana?” tempat sampah pak, jawab anak-anak dengan penuh semangat. Bagus, bagus… “jawab guru”. Hal ini membutktikan bahwa semua perkataan gurunya selalu diiyakan siswanya.
Keesokkan harinya guru datang pukul 07.10 menit. Anak-anak bagaimana pelajaran hari ini apa kalian siap belajar? Siap, karena dari tadi kita menunggu” jawab muridnya. Bagus kalian sangat tertib dan disiplin. Puji gurunya. Kemudian bel istirahat berbunyi tet… tet… anak-anak boleh istirahat” kata guru. Jangan lupa ya! Kalau ada sampah diambil dan diletakkan pada tempatnya. Perintah gurunya. Waktu bermain anak-anak melihat gurunya tadi berjalan dengan santai dan hanya melihat dengan cuek beberapa bungkus makanan yang berceceran. Dengan santai guru masuk ruangan dan membolak-balik buku pelajaran yang akan disampaikan pada muridnya.
Inilah contoh atau gambaran bentuk sertifikasi yang dilakukan pemerintah kepada guru. Karena, itu saya prihatin melihat para guru yang rata-rata mengedepankan intelektual dari pada hati yang berbicara. Mengedepankan ceramahnya dan tutur pituturnya dari pada perbuatan yang dilakukannya. Ketika musim sertifikasi guru berusaha menjadi seorang pembohong dan pendusta. Kenapa tidak semua kumpulan makalah difoto copy, piagam dipalsukan. Hanya mengejar selembar kertas bergambar soeharto atau yang lain. Naifnya seorang guru bersertifikasi. Untuk itu perlu disadari sesungguhnya guru ideal yang didambakan seorang anak adalah keteladanan dan perlu contoh, serta bukti dimana apa yang dikatakan pasti dilakukannya.
Saya pribadi merasa risih dengan kejadian yang mencorang nama baik guru, seyogyanyalah kita kembali ke khitah kita sebagai orang yang tahu malu, dan dengan mengedepankan kejujuran, serta suritauladan. Guru teladan yaitu ketika ia menyuruh anak didiknya untuk disiplin maka ia terlebih dahulu belajar untuk disiplin, ketika menyuruh anak didiknya jika ada sampah berserakkan diambil, maka terlebih dahulu kita membersihkannya, dan sebaginya. Jadi hendaknya guru selalu mengedepankan perbuatan, kemudian menyampaikan kepada anak didiknya. Karena anak sejatinya selalu melihat, dan mencotoh apa yang dilakukan seorang guru. Tetapi jika hanya mendengar saja pasti yang didengarnya itu akan terlintas sesaat kemudian musnah dihilangkan oleh perbuatan guru itu sendiri. Karena kunci keberhasilan seorang guru ada pada perilaku dan perkataannya, dan bukan karena lulus sertifikasi guru
Untuk itu para guru sebaiknya cobalah berpikir, bertindak sesuai dengan hati nurani, dan cobalah untuk malu kepada siswa. Jangan hanya menganggap siswa itu sebagai objek yang pasif, dan anggaplah siswa itu sebagai orang yang selalu memperhatikan dan mengkritik kita. Ketika apa yang kita lakukan tidak sesuai dengan ucapan kita maka hendaknya selalu mawas diri dan berusaha memperbaikinya…….. Hidup Guru!!! Ayo Mengajar dengan Hati dan Keteladanan Oke….
Sumber: http://aflah.wordpress.com/2008/02/28/bagaimanakah-menjadi-guru-ideal/

Memaknai Perjuangan Profesi Guru

MEMAKNAI PERJUANGAN PROFESI GURU

Oleh: Trimo

"Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubariku". Sepenggal kalimat dalam lirik lagu Himne Guru di atas seakan memaknai perjuangan guru dalam selubung "pahlawan tanpa tanda jasa". Guru ditempatkan menjadi sosok yang keberadaannya selalu dibanggakan dan dipuji oleh masyarakat. Apalagi dengan predikat "pahlawan" sepertinya mengidentikkan guru dengan pahlawan dalam arti yang sebenarnya.

Bu Guru, Pak Guru, Den Guru, Mas Guru, atau sebutan lainnya sangat kental di telinga masyarakat sebagai simbol orang yang "serba bisa". Selain tugas utamanya mengajar, guru sering ketiban sampur menjadi pengurus RT, RW, Kelurahan, organisasi pemuda, masyarakat, dan sejenisnya. Maka tidak mengherankan, apabila sosok guru merupakan pribadi-pribadi yang cepat kaki ringan tangan.

Di dunia pendidikan, guru merupakan ujung tombak dalam merealisasikan serangkaian kebijakan pemerintah. Di tangan gurulah, potret pendidikan yang idealis di negeri ini ditumpukan. Guru harus senantiasa berupaya mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang sulit diukur, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Lantaran sarat akan muatan idealis, menjadikan guru sebagai "ujung tombok" ketika ada kompleksitas permasalahan membutuhkan daya, cipta, rasa, dan karsa. Padahal sebenarnya, dunia pendidikan yang dihadapkan guru adalah hal-hal yang riil dan bersifat aktual sehingga segala fenomena yang berkembang dalam dunia pendidikan merupakan peluang dan tantangan bagi guru.

Bukan Pilihan Utama

Hari ini, seluruh guru memperingati hari Guru. Namun, berapa banyak guru yang mengetahui hal tersebut? Seandainya tahu, apa yang akan diperingati? Masihkah ada guru yang ingin memperingati harinya sebagai satu hari yang istimewa?

Pertanyaan tersebut tepatnya dijadikan sebuah ironisme eksistensi profesi guru, yang menurut kaca mata saya tak lagi diminati oleh generasi muda. Saya masih ingat ketika duduk di bangku Sekolah Dasar. Waktu itu, ibu guru saya yang selalu memakai kebaya dengan sanggul mungilnya, menanyakan tentang cita-cita. Sebagian besar dari teman-teman saya ingin sekali menjadi guru, termasuk saya.

Namun, ketika hal serupa saya tanyakan kepada murid saya, jawabannya sungguh membuat saya ngelus dada, lantaran hanya empat orang dari tiga puluh empat murid saya yang senang jadi guru. Kebanyakkan murid saya ingin jadi dokter, dengan alasan sederhana yakni bayarannya lebih besar dibanding guru.

Ilustrasi di atas merupakan wujud persepsi sederhana mengenai profesi guru, yang belum menyentuh ke hal-hal yang bersifat subtansial. Jika murid saya mengetahui bahwa untuk menjadi guru sekarang sangat sulit lantaran harus bersaing dengan ribuan lulusan sekolah guru yang sampai sekarang nasibnya masih terkatung-katung, tentu tidak akan ada yang bercita-cita menjadi guru.

Dalam konteks penglihatan masyarakat terhadap profesi guru, ada semacam sinyalemen yang mengatakan bahwa guru saat ini lebih sejahtera dibanding dengan guru tempo dulu. Bila diterjemahkan secara bebas memang demikian. Namun bila dipahami sampai pada taraf hakikat, sebenarnya ukuran "kesejahteraan" guru saat ini sama dengan dengan guru tempo dulu.

Beberapa guru yang masih bertahan dan mengalami beberapa pergantian pejabat di negeri ini merasakan hal sama. Artinya, kondisi ekonomi dan kesejahteraannya nyaris tidak ada perbedaan. Jika ditinjau dari besarnya nominal gaji, tentu berbeda. Namun, bila dilihat dari pemenuhan kebutuhan, besarnya nominal untuk ukuran zaman dulu dan sekarang relatif sama.

Barangkali satu pemikiran pentingnya peningkatan kesejahteraan, merupakan hal yang layak diagendakan oleh guru. Ironisnya, kebanyakkan guru-guru di negeri kita fanatik sekali dengan filsafat "gali lubang tutup lubang", sehingga ketika ada kabar tentang kenaikkan gaji, besarnya nominal kenaikkan sudah diantrekan ke tempat yang bisa membuat guru menjadi bergaya hidup mewah di mata masyarakat.

Konservatif

Walau bukan merupakan profesi pilihan utama, guru juga merupakan sosok yang nrima ing pandum, artinya walaupun kurang ada keselarasan dan keseimbangan antara tugas dan tanggung jawabnya mencerdaskan kehidupan bangsa dengan penghargaan yang diterima, guru tetap saja sendika dawuh melaksanakan tugas tersebut dengan penuh dedikasi. Itulah guru, yang hati sanubarinya senantiasa berpikiran konservatif, artinya segala perilakunya senantiasa dipandang dari sudut pengabdian.

Mereka masih tekun melaksanakan upacara tiap hari Senin, senam tiap hari Jumat, berseragam PSH dan Korpri, berangkat lebih awal dari muridnya, membiarkan gajinya dipotong untuk berbagai keperluan, dan lain sebagainya.

Bergulirnya sebuah era yang semrawut lantaran orang-orang negeri ini sama-sama memulai belajar berdemokrasi, menjadikan sosok guru secara evolusif berani berbicara dan menyuarakan isi hati. Bahkan banyak di antara teman guru, spontan senang jika dirinya dianggap reformis. Apalagi kalau ia berhasil menggalang kekuatan dan mendemo pemimpinnya.

Dampak keberanian guru, seperti melakukan aksi menolak pimpinannya jika tidak dari kalangan pendidikan, menghadap Dewan beramai-ramai, melayangkan surat pengaduan, dan lain-lain merupakan salah satu bentuk aktualisasi diri.

Perilaku tersebut menunjukkan adanya pergeseran terhadap pemaknaan profesi guru. Guru sudah tak ingin dibuai dalam ayunan "pahlawan tanpa tanda jasa", namun ingin ada penghargaan profesinya secara holistik. Bukan hanya dalam bentuk peningkatan kesejahtreraan, namun lebih pada pemaknaan hakikat guru sebagai manusia berdimensi jamak, yakni sebagai makhluk individu, sosial, susila, dan beragama. Dalam konteks itu, maka guru sebaiknya tidak hanya berharap namun perlu menunjukkan aktivitas nyata dalam mengelola proses belajar-mengajar.

Dimensi Guru

Sebagai makhluk individu, guru diharapkan mengembangkan self existence yang bermuara pada peningkatan kompetensi personal, agar peserta didiknya mendapat berbagai kemampuan yang berhubungan dengan cipta (kognisi), rasa (emosi), karsa (konasi), dan keterampilan (psikomotor). Seperti: kegiatan-kegiatan ilmiah (penataran, seminar, penelitian), penciptaan hasil karya, penemuan metode dan media yang mengarah pada pembelajararan aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Sebagai makhluk sosial, guru diharapkan mengelola interaksi multi arah baik dalam proses belajar-mengajar maupun pergaulan di masyarakat. Apalagi pemberlakuan School Based Management, partisipasi masyarakat merupakan salah satu unsure utama dalam menentukan kemajuan sekolah. Di sinilah guru diharapkan dapat menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat. Bukan sebagai guru "sekolah" saja namun harus menjadi guru "masyarakat".

Guru sebagai makhluk susila bertalian dengan pentingnya menginternalisasikan nilai yang terkandung dalam pikiran, ide, gagasan yang terbukti baik, bermanfaat, dan diyakini kebenarannya sehingga senantiasa dihayati dan diamalkan dalam proses hidup bermasyarakat. Apalagi dalam istilah Jawa, guru merupakan sosok yang "digugu" dan "ditiru" sehingga keteladan dalam pikiran, ucapan, dan tindakan merupakan potret guru masa depan.

Sebagai makhluk beragama, sudah barang tentu menempatkan guru sebagai pribadi yang secara conditio sine qua non, harus beriman dan bertakwa kepada Sang Pencipta. Pentingnya peningkatkan iman dan takwa didasari atas hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dan saratnya beban yang harus ditanggung guru dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kado Istimewa

Ibarat sebuah perjalanan, empat dimensi hakikat manusia seperti terurai di atas merupakan rute yang harus dilewati guru. Ada kalanya guru berhenti di persimpangan jalan lantaran lelah, ada kalanya guru sejenak berhenti untuk melakukan evaluasi diri terhadap sejengkal langkah yang telah dilaluinya, dan ada kalanya pula guru memacu diri agar secepatnya mencapai tujuan. Semua tergantung pada pribadi guru dalam memaknai dirinya sendiri.

Di hari yang sepantasnya diperingati ini, ada baiknya guru melakukan intropeksi dan retropeksi, sejauhmana guru memaknai tugas dan tanggung jawabnya, baik tugas yang berhubungan dengan profesi (mendidik, mengajar, dan melatih), tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan secara sungguh-sungguh, sudah barang tentu akan mendapatkan kado istemewa, yakni ucapan terima kasih, doa dan senyum manis dari seluruh anak negeri. Dirgahayu Guru Indonesia. Padamu, kuletakkan tumpuan untuk membangkitkan negeriku!" 

Sumber: http://re-searchengines.com/trimo20708.html